Kegairahan dan dinamika beragama tak ubahnya sebuah rangkaian yang juga terjadi pada sisi kehidupan yang lain. Kita tentu familiar dengan gelombang demokratisasi, dimana selalu ada masa ketika demokrasi berkembang secara cepat dan diikuti dengan masa kemunduran, kemudian siklus tersebut akan berputar lagi.
Kekristenan, dalam artian yang spesifik, Kekristenan barat, mengalami masa revitalisasi, reformulasi, sekaligus transformasi dalam pemahaman kita mengenai masa reformasi. Dan setelah itu, mungkin tidak ada lagi peristiwa bersejarah lain selain masa kebangkitan besar (the great awakening/TGA). Meskipun hanya bersumber dari satu wilayah, Amerika Serikat, kita akan segera melihat bahwa sumber serta lebih dahsyat lagi, akibatnya akan mempengaruhi Kekristenan secara massif sampai sekarang.
Dalam tulisan ini, kita akan lebih memfokuskan pada apa yang terjadi saat masa kebangkitan besar pertama (first great awakening/FGA) yang terjadi pada medio 1730-an sampai 1770-an di arsiran wilayah Atlantik, terutama di Amerika Serikat dan Inggris Raya.
Kondisi sebelum masa FGA, bisa kita sebut sebagai prakondisinya, sedikit banyak bisa menggambarkan latar belakang terjadinya masa kegairahan beragama kembali ini.
Dari dimensi sosial-politik, kita bisa mengidentifikasi bahwa di Inggris, sebagai akibat pertikaian masa reformasi yang melahirkan Protestanisme dan Anglikan, muncul karakteristik beragama yang cukup monoton di sana. Akhir abad ke-17, kehidupan beragama yang statis ini mencapai puncaknya dengan diakuinya institusi Church of England (Anglikan) sebagai penguasa tunggal kehidupan beragama di seluruh Inggris Raya, dan nantinya ke wilayah koloni Inggris di Amerika Serikat. Efek lain adalah kekuasaan dominan pada wilayah spiritual ini memunculkan tirani mayoritas yang secara langsung maupun tidak langsung menekan aliran kepercayaan yang lain, seperti Yudaisme, Katolik, maupun kelompok Puritan.
Fenomena yang cukup sederhana untuk dipahami: kehidupan beragama yang kaku bahkan membosankan akan menimbulkan reaksi kegerakan untuk membangkitkan lagi kegairahan keagamaan yang terjebak ritualisme. Dan kita harus berterimakasih kepada para pendiri Methodist: John Wesley, Charles Wesley, dan George Whitefiled. Ketiga orang ini menyampaikan firman Tuhan serta pesan-pesan sorgawi dengan cara yang tidak terbayangkan oleh orang di masa itu.
John Wesley, yang dinilai gagal ketika berusaha melakukan pekabaran Injil di Amerika Serikat, tetap meninggalkan pengaruh besar, baik dalam substansi maupun metode pengajaran Kristen. Dan yang paling populer adalah sosok George Whitefield. Walaupun dulu sudah ditahbiskan dalam Church of England, semangat pembaharuan yang semakin besar ketika bertemu dengan Wesley bersaudara, dan akhirnya mendirikan aliran Methodist. Bisa dikatakan, dari satu sosok inilah konstribusi terbesar bagi menjalarnya FGA di Amerika hadir secara maksimal.
Di kelompok Presbiterian yang kental dengan corak teologi Calvinis, juga mengambil peran besar dalam masa ini terutama berkat peran William Tennet, seorang keturunan keluarga imigran Skotlandia. Kehadiran Tennet dalam membangkitkan kembali semangat religiusitas baru di kalangan Presbiterian di Pennsylvania dan New Jersey tak akan dilupakan selain peran besarnya dalam membangun seminari besar yang sekarang bernama Princeton University.
Antusiasme religius ini kemudian menyebar di kalangan Puritan (Congregationalist) dan Baptist di New England, koloni Inggris Raya. Yang paling mencolok dari masa FGA saat itu adalah gaya pengkhotbah yang tak ubahnya seorang orator politik ulung, antusiasme bak pemimpin perang, serta diiringi semangat seakan tiada lagi hari esok. Informalitas pekabaran Injil dengan massa besar di luar ruangan menjadi inspirasi tersendiri sekaligus melahirkan banyak pengkhotbah besar seperti George Whitefield dan Jonathan Edwards. Lihat saja bagaimana salah satu deskripsi tentang gaya berkhotbah Whitefield ini:
“What Whitefield preached was nothing more than what other Calvinists had been proclaiming for centuries-that sinful men and women were totally dependent for salvation on the mercy of a pure, all-powerful God. But Whitefield-and many American preachers who eagerly imitated his style-presented that message in novel ways. Gesturing dramatically, sometimes weeping openly or thundering out of threats of hellfire-and-brimstone, they turned the sermon into a gripping theatrical performance” (Heyrman)
Dari sisi intensitas religius, penekanan yang muncul dari FGA adalah karakter agama yang personal, pemahaman terhadap besarnya ketergantungan dan kerinduan hubungan yang dekat dan intim dengan Tuhan serta keberhasilan untuk mengidentifikasi permasalahan-permasalahan sosial sebagai aktualisasi kehidupan beragama.di tingkat pemahaman kolektif, agama sebagai sebuah ritual formal sekaligus bernuansa elit, mulai terkikis. Pendapat menarik dikemukakan Amanda Porterfield (2001) yang melihat bahwa TGA ini mendobrak batas yang tercipta di antara pelayan Tuhan yang terdidik secara elit dengan kaum religius yang terinspirasi oleh kepercayaan-kepercayaan tradisional.
Dari sisi implikasi politik, yang muncul adalah penguatan kehadiran kelompok-kelompok yang mendapat tempat lebih baik dengan kebangkitan beragama kembali ini. Kelompok budak kulit hitam adalah salah satunya, hal yang tak lepas dari perjuangan aliran Methodist dengan John Wesley sebagai motor utamanya untuk menghapus perbudakan. Selain itu, kesadaran akan kedaulatan yang lebih otonom juga muncul di kalangan penguasa koloni di Amerika Serikat. Dampak politik yang muncul akibat pudarnya monopoli monarki Inggris Raya terhadap agama (Church of England). Dan tak diragukan lagi, inilah salah satu katalisator bagi Revolusi Amerika.
Tapi, pemahaman bahwa FGA ini memberikan konstribusi besar bagi transformasi sosial di Amerika Serikat masih mendapat tantangan skeptis dari perdebatan historis maupun akademis. Gerakan keagamaan seperti yang terjadi pada FGA, bisa diinterpretasikan sebagai upaya penguasa kolonialis (Inggris di AS) yang menginginkan perubahan sosial lebih baik. Di sisi lain pembacaan ini bisa juga mengarah bahwa FGA, seperti di wilayah utara, sebagai sebuah gerakan konservatif, lanjutan dari tradisi religius yang lama (Heyrman; Jedrey). Di belahan selatan Amerika Serikat, isu-isu perubahan sosial seperti penghapusan perbudakan dan pengutamaan kelas masyarakat tertentu hanya bertahan sebentar sebelum menghilang kembali.
Dinamika kehidupan beragama di Amerika Serikat setelah masa FGA berkembang pesat dengan diikuti kebangkitan besar berikutnya. Sehingga bisa dimaklumatkan, di masa ini, tongkat estafet dinamika kekristenan harus berpindah dari Eropa ke benua Amerika.
Santo Vormen (Divisi Litbang PPL)