Apakah Agama memiliki masa depan? Sepertinya pertanyaan tersebut kian memperoleh tonggak keabsahannya manakala masa kekinian kita mcnuai bcgitu banyak hal buruk dilakukan oleh dan atas nama Agama. Banyak orang, bahkan sejak fajar modemitas tiba di Eropa, meramalkan keniscayaan dari akhir Agama. Entah itu pada bentuk keilmuan tertentu -misalnya August Comte yang memastikan Sosiologi sebagai pengganti Agama, atau Freud yang mereduksikan segala sesuatu, termasuk agama, sebagai gejala libiditas bawah sadar,- atau pada humanisme tertentu sebagaimana diduga banyak orang baik, entah yang bersifut ateistis maupun yang masih meninggalkan bekas-bekas kesetiaan pada suatu belief, kendatipun dalam nada yang paling lemah.
Pertanyaan di atas kiranya juga mencuatkan satu hal pokok yang inheren dalam diri Agama, yaitu yang kena-mengena dengan alasan keberadaannya sendiri, raison d’etre -nya: yakni apakah episteme Agama, suatu cara pandang yang dibangkitkan oleh modus religius, masih relevan untuk dipakai sebagai alat guna memahami kesemestaan hidup dalam dunia modem ini? Sudah sejak jauh-jauh hari Dietrich Bonhoeffer memintakan kepada kita sebuah perhatian khusus terhadap pentingnya upaya memahami kembali pernyataan Agama, misalnya Alkitab dan doktrin Gereja, dalam cara yang justru non-religius, demi supaya pemyataan itu masuk akal dalam benak pikiran orang modern. Dalam mengomentari Rudolph Bultmann yang justru dianggapnya kurang radikal dalam menyikapi pernyataan-pernyataan mitologis Alkitab dengan program demitologisasinya[1], Bonhoeffer menulis dari penjara pada tahun 1944 demikian:
” … bukan karena dia (Bultmann) sudah berjalan terlalu jauh, seperti yang banyak disangkakan orang, melainkan justru karena ia kurang berjalan lebih jauh lagi. Yang dipersoalkan sebenamya bukan hanya konsepsi mitologis sepcrti mujizat, kenaikan ke Surga dan semacamnya (yang tidak sclalu berhubungan dengan konsep Allah, iman, dst), tetapi konsepsi ‘relijius’ itu sendiri. Engkau tidak akan dapat, seperti yang dibayangkan oleh Bultmann, memisahkan Allah dari mujizat, tetapi tentu saja kau harus mampu menafsirkan dan memberitahukan keduanya dalam pengertian yang ‘non-religius.[2]
Apakah Agama bermasa depan? Bila ya, adakah syarat-syarat yang harus dimiliki oleh Agama supaya ia kembali berfungsi memaknakan dunia bagi orang modem yang sudah dewasa dalam soal nilai-nilai humanisme, tanpa perlu dukungan dan otoritas dari suatu ‘Tuhan’ itu? Adakah suatu mekanisme metodologis yang dapat mencegah kekerasan epistemik Agama? Apakah Agama mengalami semacam “evolusi” dari model religi yang terpana pada “Old Man in the Sky” menuju pada Agama yang berselaras dengan keprihatinan humanis manusia modem?
Beberapa proposal
Bentuk konkret macam apakah yang semestinya dipertimbangkan oleh agama demi ia menjadi relevan bagi dunia dan signifikan bagi pemeluknya? Atau bila kita meminjam kegelisahan Bonhoeffer -dlan bukannya sekedar istilah saja-, jalan pengertian ‘non-religius’ yang bagaimanakah yang semestinya dicari dan dirintis oleh Agama? Berikut ini adalah cuatan perenungan yang masih kasar sebagai upaya mentah untuk menjawab pertanyaan tentang masa depan agama. Suatu entitas sosial akan bertahan bila ia memiliki kemampuan untuk berdamai dengan waktu. Bila ia mampu memberikan jawaban yang tepat bagi tantangan jamannya. Ia akan didengar dan selalu dijadikan sebagai guru dalam segala jaman. Karena itu Agama, tidak bisa tidak, harus mempertimbangkan ulang segenap pemahamannya tentang dunia ini, entah dari segi ontologi, epistemologi, maupun metodologinya. Mempertimbangkan ulang pemahaman berarti mencari formulasi baru untuk mengerti makna hidup-di -dunia. Beberapa pertimbangan dapat dideretkan sekedar sebagai proposal bagi transfomasi Agama:
1. Agama sebagai keprihatinan etis akan penderitaan semesta (ontologi: teantropokosmikosentrisme[3])
Terdapat tiga unsur mendasar dalam ontologi ini, yaitu:
- Ketuhanan yang feminin (Thea bentuk feminim dari theos): spiritualitas transendental yang menimang dan membalut Iuka dunia hanya lahir dari kekuatan rohani para ibu. Itu terjadi oleh karena karakterisasi perempuan sebagai pelahir dan pemelihara kehidupan merupakan gambaran paling tepat dalam menjelaskan karya misterius Allah.
- Kemanusiaan (antropos): Martin Buber pernah berkata bahwa perjumpaan dengan Allah, The Eternal Thou, hanya dapat dilahirkan dari pengalaman perjumpaan dengan sesama manusia. Sementara hanya melalui partisipasi dengan derita sesamalah, maka perjumpaan yang otentik itu dimungkinkan.
- Kesejahteraan alam (kosmos): alam adalah milieu yang menghidupi kita. Ialah syarat utama kehidupan organis. Peduli pada alam menjadi salah satu kategori imperatif oleh karena alam pertama-tama bermakna sosial, yakni bahwa ia rumah untuk semua orang. Mencemari alam berarti meracuni kehidupan semesta.
2. Agama sebagai Puisi (epistemologi: multimalma)
Ada dua cara dalam membaca agama: entah sebagai prosa ataukah puisi.
- Prosa merupakan tuturan sistematik. Transparan. Tidak mengijinkan lahimya makna dan pemaknaan kabur. Sementara puisi melahirkan dunia liar. Dunia mentah yang tidak akan pemah selesai dan memang tidak dimaksudkan untuk selesai. Puisi membicarakan dunia tanpa merumuskannya. Sementara prosa mendefinisikan kehidupan, membekukannya dalam kulkas-makna, selalu siap saji. Prosa tidak mengijinkan proses. Kalau toh temyata prosa memuat proses, sang pengarang telah menentukan alurnya, watak lakon dan akhir ceritanya. Dalam prosa hanya ada penjajahan makna.
- Bila agama dibaca sebagai puisi, maka hilanglah kemungkinan untuk memakai agama sebagai alat penindasan. Sebab penindasan hanya dimungkinkan oleh pemaksaan suatu makna-tunggal, yang lahir dalam bentuk prosa. Sementara puisi hanya menyembah pada perbedaan, dan memuja kelainan. Dalam puisi kemungkinan dilahirkan dan keniscayaan ditolak. Karenanya tidak mungkin penindasan dapat diasalkan pada watak puisi yang bebas lagi kreatif.
3. Agama sebagai kuasa populer (metodologi: organika pembebasan)
Agar agama berfungsi, maka ia harus memihak. Persoalannya, ia berada di pihak yang mana? la memecahkan persoalan dengan menggunakan perspektif siapa? Ia berbicara kepada siapa pula? Inilah satu-satunya cara agar agama signifikan bagi pemeluknya. Bila kita mengiyakan agama sebagai sarana melahirkan kuasa yang membebaskan orang dari dosa, maka tentu pcmbebasan menjadi alasan dari keberadaan agama. Siapa yang perlu dibebaskan? Tentu saja orang yang tertindas. Persoalannya: siapa sajakah yang termasuk dalam kclompok ‘orang tertindas’ ini? Sepintas sepertinya jawabannya mudah. Namun pada prakteknya sulit. Sebab kita lahir pada sebuah jaman dimana perspektif bertabrakan satu sama lain. Mereka yang dalam situasi tertentu terhitung sebagai kelompok tertindas, dalam situasi lain muncul sebagai sang penindas. Misalnya pria buruh yang digaji rendah oleh pabrik pulang ke rumah menjadi raja kecil bagi istri dan anaknya. Atau tentara yang diperintah negara untuk pergi memerangi daerah lain dan membunuh warga di sana yang tidak dikenalnya. Kiranya dapat disepakati bahwa agama memusuhi sistem (entah itu yang namanya budaya, sistem polik-ekonomi, sosial, teknologi, dsb) yang memperbudak manusia. Manusia sendiri selalu rentan dalam perpindahan posisi, entah sebagai penindas maupun tertindas. Ia terikat dengan perjanjian, pengambilan peran yang tidak selalu dikehendakinya sendiri, keterdesakan ekonomi, dsb. Walau tentu saja selalu ada di antara kita yang mengambil peran sebagai sekrup terbesar atau lebih besar dalam sistem bersama yang menindas itu.
Lalu darimanakah energi pembebasan itu kita peroleh? Pembebasan dan kebebasan sejati hanya mungkin datang dari kesadaran yang membangkang milik mereka yang tertindas. Demi supaya petjuangan itu tidak bemilai borjuis. Maka cara untuk memperoleh kekuasaan yang membangkang milik “rakyat’ -sebagai terminologi bagi subjek tertindas-, adalah mengidentifikasi kekuasan yang mengendap dalam kesadaran kolektif, yang muncul jelas maupun samar dalam ekspresi-ekspresi semiologis, bahasa emosional cerita politis, kebudayaan. Pendek kata, kita harus menemukan kembali kekuasaan populer. Bila agama bersinergi dengan kekuasaan populer itu, agama menjadi milik rakyat, menjadi alat penuh kuasa yang membebaskan.[4] Kekuatan dari bawah, yang mengendap sebagai kekayaan bawah-sadar kolektif, adalah benih potensial yang dapat ditumbuhkan secara lebih sadar demi menuju pada situasi masyarakat berdaya, sebuah Civil Society, yang mengemansipasi dirinya senantiasa menghadapi setiap hegemoni kekuasaan.[5]
[1] Dengan program demitologisasi dimaksudkan usaha metodologis-hermeneutis Bultman dalam menatsirkan kembali secara eksistensial cerita-cerita mitologis Alkitab agar dapat dimengerti oleh orang modern. Misalnya kisah Penciptaan clan Kejatuhan manusia ke dalarn dosa., secara eksistensial menghadirkan makna kebenaran terdalam atas hakikat manusia dan alam semesta.
[2] ” ……would be not that he went too far, as most people seem to think, but that he did not go far enough. It is not only mythological conceptions such as the miracles, the ascencion and the like (which are not in principle separable from the conceptions of God, faith, and so on) that are problematic, but the ‘religious’ conceptions themselves. You cannot, as Bultmann imagines, separate God and miracles, but you do have to be able to interprete and proclaim both of them in a ‘non-religious sense’ (penekanan dari saya). Lih. “My view of it today” dalam Letters and Papers from Prison. ed. E. Bethge (1953; edisi ke-2, hal. 125). Edisi Amerika berjudul Prisoner for God.
[3] Tentang perspektif teantropokosmikosentrisme, baca lebih lanjut Raimundo Panikkar, Dialog lntrareligius, (Jogyakarta: Kanisius)
[4] Baca Antonio Faundez dan Paulo Freire, Belajar Bertanya: Pendidikan yang Membebaskan (Jakarta: BPK-GM) 1995, khususnya hal. 92-106.
[5] Bandingkan dengan tulisan Martin Lukito Sinaga dalam berbagai kesempatm, yang melukiskan perjuangan emansipatoris dari umat. Misalnya: motif konversi J. Saragih untuk memeluk agama Kristen sebagai gerak emansipasi menghadapi hegemoni Islam di tanah Batak. Atau sumur mata air bulan di Gereja Katolik Maria Assumpta di Pakem sebagai ruang publik untuk tetirah yang disediakan gereja bagi dunianya.
Oleh: Leonard Andrew Im
(Dibuat untuk bahan diskusi ‘Forum Seton’ Pustaka Lewi, 08 Februari 2003)